Samstag, November 08, 2003
Pada abad pertama Islam, berangkatlah Al-Imam Ja'far ash-Shadiq ke Madinah menghindari fitnah yang sedang berkecamuk. Ketika orang mengetahui kedatangannya, berduyun-duyun orang ingin menemuinya. Di antara mereka adalah seorang murid Malik bin Anas r.a., seorang tua berusia 94 tahun yang dikenal dengan nama 'Unwan. Ia ingin sekali ikhtilaf (berkunjung untuk berguru) pada Imam. Didatanginya beliau. Tetapi Al-Imam berkata: "Aku ini orang yang sedang dicari, karena itu banyak sekali wirid yang harus aku lakukan siang dan malam. Janganlah hendaknya engkau mengganggu wiridku. Teruslah berguru kepada Malik dan ikhtilaflah dengan dia seperti biasa."
Dengan sedih 'Unwan meninggalkan Al-Imam dan pergi memasuki Masjid Nabawi. Di situlah ia salat dua raka'at dan bermohon kepada Allah agar hati Ja'far dilembutkan Allah untuk menerimanya sebagai murid.
Singkat cerita, suatu hari setelah selesai salat Ashar 'Unwan diterima Ja'far dan terjadilah dialog yang menarik. Sebagian di antaranya sebagai berikut :
Berkata Ja'far: "Wahai Aba Abdillah, ilmu itu tidak diperoleh dengan ta'allum. Ilmu itu sinar yang menerangi hati orang yang dikehendaki Allah untuk diberi petunjuk. Jika engkau ingin ilmu, carilah lebih dahulú dalam dirimu hakikat 'ubudiyyah. Carilah ilmu dengan mengamalkannya. Mintalah pengertian dan Allah, tentu Allah memberimu pengertian." Aku berkata: "Ya Syarif." Ia berkata: "Panggillah ya Aba Abdillah." Ujarku: "Ya Aba Abdillah, apakah hakikat 'ubudiyyah." Jawab beliau: "Ada tiga perkara: pertama, tidak melihat segala yang diberikan oleh Tuhan kepadanya sebagai miliknya, karena seorang hamba tidak mempunyai hak milik. Dilihatnya harta itu harta Allah, dibelanjakan harta itu seperti yang diperintahkan Allah. Kedua, seorang hamba tidak mengatur dirinya sendiri. Ia menyibukkan dirinya sesuai perintah Allah kepadanya. Bila seorang hamba tidak melihat pemilikan pada dirinya, ringanlah baginya infak seperti yang diperintahkan Allah. Ketiga, bila ia menyerahkan urusannya kepada pengurusnya, ringanlah baginya musibah dunia. Bila ia sibuk dengan apa yang diperintahkan atau dilarang oleh Allah, tidak sempat lagi ia berdebat dan berbangga-bangga di depan manusia. Demikianlah, jika Allah memuliakan seorang hamba dengan ketiga sifat ini, rendahlah dunia, iblis dan seluruh makhluk dalam pandangannya. Ia tidak mencari dunia untuk berbanyak dan berbangga (takatsur dan tafakkur). Tidak dicarinya pada sisi manusia kebanggaan dan ketinggian."
Nukilan dari Rakaiz al-Iman baina ai-'Aql wa al-Qalb karya Al-Ghazali
posted by
IccanG,
19:58
|